Senin, 05 Mei 2014

SISTEM PENDIDIKAN DI JEPANG



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Pendidikan merupakan pilar penting bagi suatu Negara, maju tidaknya suatu bangsa dapat dilihat dari maju tidaknya pendidikan di Negara tersebut. Pendidikan menjadikan  manusia mempunyai kemampuan untuk berbuat banyak untuk kehidupannya, baik dalam keluarga, masyarakat maupun untuk pembangunan bangsa. Mengingat arti penting pendidikan dalam suatu Negara, terutama dalam membentuk kepribadian masyarakat, maka suatu bangsa harus menitik beratkan pembangunannya pada pendidikan.
Sumber Daya Manusia (SDM) yang kita miliki harus berkarakter. SDM yang berkarakter kuat dicirikan oleh kapasitas mental yang berbeda dengan orang lain seperti keterpercayaan, ketulusan, kejujuran, keberanian, ketegasan, ketegaran, kekuatan dalam memegang prinsip, dan sifat-sifat unik lainnya yang melekat dalam dirinya, seperti contohnya di Negara jepang bahwa Pendidikan dasar (TK-SMP) di Jepang tidak mengikuti aturan kurikulum, karena dititikberatkan pada pelajaran etika, sosial, seni, dan pendidikan kedewasaan atau kemandirian. Tujuan pendidikan adalah menyempurnakan karakter, karena itu kami menekankan pada etika, seni, olahraga, dan pengetahuan umum,” kata Kepala Sekolah Jepang di Surabaya Michiyo Kawaguchi di Surabaya, (Republika. Rabu, 01 Oktober 2003).
Beda dengan Negara Indonesia sekarang ini dimana pendidikan dasar kita sudah mengacu pada kurikulum. Hingga detik ini keterbelakangan pendidikan di negeri kita masih menjadi masalah yang terbilang memprihatinkan. Tentu saja keterbelakangan pendidikan bukanlah satu satunya persoalan dan itu tidak berdiri sendiri. Keterbelakangan pendidikan selalu berkait kelindan dengan keterbelakangan ekonomi. Di masa lalu, kondisi serba terbelakang ini diperparah dengan sistem politik nasional yang memberi peluang kepada pemangku kekuasaan untuk berlaku sewenang-wenang sehingga hak-hak rakyat banyak terabaikan, termasuk hak untuk memperoleh pendidikan secara layak.
Sampai sekarang inipun perjalanan pendidikan kita belum dapat memenuhi  mengantarkan kepada tujuan pendidikan nasional.  Dalam UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, disebutkan “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
1.2  Rumusan Masalah
1.      Sistem Pendidikan di Jepang
2.      Reformasi Kurikulum Jepang
3.      Sifat dan Karakteristik Kurikulum di Jepang
4.      Menilai Mutu Pendidikan
5.      Penyusunan Kurikulum Sekolah di Jepang

1.3  Tujuan
1.      Agar mahasiswa mengetahui system kurikulum di luar negeri, contohnya di Jepang
2.      Agar mahasiswa mampu mendeskripsikan perbedaan kurikulum yang di gunakan di luar negeri.
3.      Untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Kurikulum Pendidikan dan Kejuruan.


BAB II
ISI
A.    SISTEM  PENDIDIKAN JEPANG
Pendidikan di Jepang mulai mengalami kemajuan sejak dilakukannya reformasi pendidikan pada masa Restorasi Meiji (Meiji Ishin) dan bertambah pesat setelah masa pendudukan AS (setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II). Tekad dan semangat bangsa ini untuk bangkit dari keterpurukan sangat patut diacungi jempol, sebagaimana hasilnya dapat kita saksikan saat ini
Langkah dan usaha Jepang dalam mencerdaskan bangsanya telah menuai hasil yang signifikan. Korelasi antara majunya pendidikan Jepang dan kemajuan industrinya benar-benar terwujud. Jepang sampai saat ini menjadi salah satu negara di Asia yang mempunyai kedudukan sejajar dalam iptek dan perekonomian dengan raksasa dunia seperti Amerika. Tak heran jika perdana menteri Malaysia Mahatir Muhammad, menjadikan Jepang sebagai kiblat pengembangan iptek ketimbang dunia barat.
Reformasi pendidikan yang dilakukan oleh Jepang dilakukan mengikuti konstitusi baru yang ditetapkan oleh Amerika Serikat pada tahun 1947. Reformasi pendidikan tersebut memiliki tujuan untuk menciptakan masyarakat yang demokratis. Dalam reformasi tersebut ditetapkan Undang-undang Pendidikan yang pokok-pokoknya mengandung :

1. Prinsip Legalisme,
bahwa mekanisme pengelolaan diatur dengan undang-undang dan peraturan-peraturan.
2. Prinsip Administrasi yang Demokratis,
bahwa sistem administrasi pendidikan harus dibangun berdasarkan konsensus nasional dan mencerminkan kebutuhan masyarakat dalam membuat formulasi kebijakan pendidikan dan prosesnya.
3.      Prinsip Netralitas,
yaitu bahwa kewenangan pendidikan harus independen dan tidak dipengaruhi dan diinterfensi oleh kekuatan politik.
4.      Prinsip Penyesuaian dan Penetapan Kondisi Pendidikan,
yaitu bahwa pemegang kewenangan pusat dan lokal mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan kesempatan pendidikan yang sama bagi semua dengan menyediakan fasilitas-fasilitas pendidikan yang cukup.
5.      Prinsip Desentralisasi,
yaitu bahwa pendidikan harus dikelola berdasarkan otonomi pemerintah lokal.

Pada tahun 2001 Kementerian Pendidikan Jepang mengeluarkan rencana reformasi pendidikan yang disebut sebagai `Rainbow Plan`, yang berisi:
- Mengembangkan kemampuan dasar scholastic siswa dalam model pembelajaran yang menyenangkan. Ada 3 pokok arahan yaitu, pengembangan kelas kecil terdiri dari 20 anak per kelas, pemanfaatan IT dalam proses belajar mengajar, dan pelaksanaan evaluasi belajar secara nasional.
-   Mendorong pengembangan kepribadian siswa menjadi pribadi yang hangat dan terbuka melalui aktifnya siswa dalam kegiatan kemasyarakatan, juga perbaikan mutu pembelajaran moral di sekolah.
-  Mengembangkan lingkungan belajar yang menyenangkan dan jauh dari tekanan, diantaranya dengan kegiatan ekstra kurikuler olah raga, seni, dan sosial lainnya.
- Menjadikan sekolah sebagai lembaga yang dapat dipercaya oleh orang tua dan masyarakat.  Tujuan ini dicapai dengan menerapkan sistem evaluasi sekolah secara mandiri, dan evaluasi sekolah oleh pihak luar, pembentukan school councillor, komite sekolah yang beranggotakan orang tua, dan pengembangan sekolah berdasarkan keadaan dan permintaan masyarakat setempat.
- Melatih guru untuk menjadi tenaga professional, salah satunya dengan pemberlakuan evaluasi guru, pemberian penghargaan dan bonus kepada guru yang berprestasi, juga pembentukan suasana kerja yang kondusif untuk meningkatkan etos kerja guru, dan pelatihan bagi guru yang kurang cakap di bidangnya.
- Pengembangan universitas bertaraf internasional.
- Pembentukan filosofi pendidikan yang sesuai untuk menyongsong abad baru, melalui reformasi konstitusi pendidikan (kyouiku kihon hou).

Ada 3 tugas utama guru / pendidik di Jepang:
1.      gakushū shidōu (membimbing pembelajaran)
2.      seito shidō (membimbing siswa).
3.      kōmubunshō (tugas administrasi/managerial sekolah)
Kurikulum pendidikan di Jepang terdiri dari tiga kategori : mata pelajaran akademik (wajib dan pilihan), pendidikan moral, dan kegiatan khusus. Pendidikan moral diberikan sebanyak 34 jam belajar pada tingkat awal, 35 jam pada tingkat kedua hingga 9 (kelas 2 SD hingga 3 SMP). Hal ini mewakili 3,3-4,0 persen dari total jam belajar setiap tahunnya dari tiap tingkat. Dengan kata lain, terdapat satu jam pelajaran (45 menit untuk SD dan 50 menit untuk SMP) pendidikan moral yang diberikan tiap minggunya.
Kandungan pendidikan moral dibedakan menjadi empat area dengan total 76 item. Keempat area tersebut adalah :
> Regarding Self, meliputi :
- Moderation (pengerjaan mandiri dan melakukan “moderate life”).
- Diligence (bekerja keras secara mandiri).
- Courage (pengerjaan sesuatu secara benar dengan keberanian).
- Sincerity (bekerja dengan sincerity & cheer).
- Freedom & Order (nilai kebebasan dan kedisiplinan).
- Self-improvement ( pemahaman terhadap diri sendiri, mengubah apa yang seharusnya diubah, dan memperbaiki diri sendiri).
- Love for Truth (mencintai dan mencari kebenaran, mencari dasar kehidupan dan bertujuan mencapai standar ideal).
> Relation to Others, meliputi :
- Courtesy (pemahaman terhadap tata sopan santun, berbicara dan bertingkah laku tergantung pada situasi dan kondisi).
- Consideration and Kindness (memperhatikan kepentingan orang lain, baik hati, dan empati).
- Friendship (memahami, percaya dan menolong orang lain).
- Thanks & Respect (menghargai dan menghormati orang-orang yang telah berjasa kepada kita salah satunya dengan memberikan ucapan terima kasih).
- Modesty (menghargai orang lain yang berbeda ide dan status melalui sudut pandang luas).
> Relation to the nature & the sublime, meliputi :
- Respect for Nature (mengenal alam dan cinta kepada hewan dan   tanaman).
- Respect for Life (menghargai kehidupan dan makhluk hidup).
- Aesthetic Sensitivity (memiliki sensitivitas aesthetic dan perasaan  terhadap kehidupan manusia).
- Nobility (mempercayai kekuatan dan keunggulan manusia untuk mengatasi kelemahan diri, dan menemukan kebahagiaan sebagai manusia).
> Relation to Group dan Society, meliputi :
- Public Duty (menjaga janji dan menjalankan kewajiban dalam masyarakat, serta merasa kewajiban publik).
- Justice (jujur dan tak berpihak tanpa diskriminasi, prejudice, dan keadilan).
- Group Participation & Responsibility (keinginan untuk berpartisasi sebagai grup, menyadari perannya, melaksanakan tugas dan kewajiban dengan bekerjasama).
- Industry (memahami makna bekerja keras, dan keinginan untuk bekerja).
- Respect for Family Members (mencintai dan menghormati orangtua dan kakek/nenek dan bersedia membantu pekerjaan mereka).
- Respect for Teachers & People at School (mencintai dan menghormati guru dan orang di sekolah/kampus, menciptakan tradisi sekolah yang lebih baik (kerjasama)).
- Contribution to Society (menyadari kedudukannya dalam masyarakat setempat, hormat dan cinta thd mereka yang berkontribusi dlm masyarakat (senior citizens)).
- Respect for Tradition and Love of Nation (tertarik kepada budaya dan tradisi bangsa, mencintai bangsa).
- Respect for Other Culture (menghargai budaya asing dan manusianya, dg menyadari kesadaran sbg bangsa, dan menjalin persahabatan internasional).

B. REFORMASI KURIKULUM DI JEPANG
Kurikulum sekolah di Jepang disusun oleh bagian perencanaan kurikulum yang terdapat dalam Kementrian Pendidikan (MEXT). Panduan kurikulum di sekolah disebut Gakushū shidōyōryō (GS) yang diakui secara hukum, sehingga pelanggaran terhadapnya akan dikenai sanksi hukum. GS merupakan panduan kurikulum untuk SD (shōgakkō), SMP (chūgakkō), SMP-SMA satu atap (chūtōkyōikugakkō), SMA (kōtōgakkō), dan SLB (tokubetsushiengakkō). Sedangkan untuk panduan kurikulum Taman Kanak-Kanak (yōchien) disebut yōchienkyouikuyōryō.
Panduan kurikulum yang pernah berlaku di Jepang adalah GS 1947, GS 1951, GS 1961, GS 1971, GS 1980, GS 1992, dan GS 2002. Penamaan tersebut berdasarkan tahun penerapannya di level SD. Sebagai contoh, kurikulum 1947 adalah kurikulum yang disusun dua atau tiga tahun sebelumnya, dan diterapkan secara tuntas di level SD pada tahun 1947. Pengecualian untuk kurikulum SMA yang mengalami pembaharuan juga pada tahun 1956.
Kurikulum yang rencananya akan diterapkan pada dekade selanjutnya adalah GS 2011. Penyusunan dan publikasi kurikulum ini dilakukan tiga tahun sebelum diterapkan. Misalnya untuk reformasi kurikulum SD yang direncanakan akan diterapkan pada tahun 2011 dan SMP yang akan diterapkan tahun 2012, telah terselesaikan penyusunannya pada 28 Maret 2008. Sementara itu kurikulum untuk SMA dan SLB yang akan diterapkan tahun 2013 telah diselesaikan penyusunannya dan diumumkan ke publik untuk mendapatkan masukan pada 9 Maret 2009.
Kurikulum pertama, GS 1947 adalah kurikulum yang banyak dipengaruhi oleh reformasi pendidikan pasca perang. Beberapa mata pelajaran pada jaman sebelum perang seperti shūshin (mental/spirit education), geografi (chiri) dan sejarah (rekishi) dihapus di level SD[2], dan mapel baru diperkenalkan yaitu IPS dan Jiyūkenkyū (penelitian bebas), serta pelajaran keterampilan (homemaking) diberikan tanpa membedakan jenis kelamin siswa (co-education).
[1] TK di Jepang lebih cenderung merupakan lembaga pengembangan dan pelatihan kebiasaan sehari-hari, oleh karena itu pendidikan di level TK bukanlah pengajaran (gakushū), tetapi lebih tepat disebut kyōiku (pendidikan).
[2] Mapel ini diberikan pula di Kokumingakkō (Sekolah Rakyat) di Indonesia pada masa pendudukan Jepang.
[3] Homemaking pada masa sebelum PD II diajarkan terpisah, sebagaimana kita ketahui SD, SMP dan SMA pada masa pendudukan Jepang di Indonesia juga menerapkan sistem pemisahan siswa dan siswi.

C. SIFAT dan KARAKTERISTIK KURIKULUM DI JEPANG
a.       SD
Kurikulum SD di Jepang hampir sama dengan kurikulum SD di Indonesia. Perbedaan nyata terlihat pada mata pelajaran seikatsuka (kebiasaan hidup) yang diajarkan di kelas 1 dan 2. Mapel ini bertujuan untuk membiasakan anak-anak dengan cara hidup mandiri sehari-hari. Daripada mulai mengajarkan IPA atau IPS, Jepang lebih memilih memperkenalkan tata cara kehidupan sehari-hari kepada anak-anak yang baru menyelesaikan pembelajaran di TK yang lebih memfokuskan kegiatan bermain daripada belajar di dalam kelas.

Pembelajaran bahasa Jepang dan berhitung diajarkan lebih banyak dibandingkan pelajaran lainnya. Pendidikan OR juga menjadi mapel yang diajarkan dalam jumlah yang melebihi mapel lainnya selain bahasa dan berhitung. Adapun pendidikan moral diajarkan tidak secara khusus dalam mapel tertentu, tetapi diajarkan oleh wali kelas sejam seminggu atau diintegrasikan melalui pembelajaran mapel lain. Sekolah-sekolah agama diperkenankan mengajarkan agama (Kristen, Buddha, Sinto) sebagai bagian dari pendidikan moral. Selain pendidikan akademik, pendidikan estetika berupa musik dan menggambar juga diajarkan dalam porsi besar di kelas 1 dan 2.

b.      SMP
Kurikulum SMP juga menitikberatkan pada pendidikan bahasa Jepang, matematika, IPA dan IPS. Pelajaran bahasa asing diajarkan dalam bentuk mapel pilihan, di antaranya bahasa Inggris, bahasa Perancis, dan bahasa Jerman. Pelajaran bahasa Inggris baru dijadikan mapel wajib di level SMP pada kurikulum 2002.
Pendidikan kesehatan jasmani diajarkan dalam jumlah jam belajar yang sama dengan SD (90 jam), tetapi berbeda dengan SD, pendidikan kesehatan di SMP terdiri atas Olahraga dan pendidikan jasmani.
Adanya mata pelajaran pilihan di SMP, yaitu bahasa Jepang, IPS, Matematika, IPA, Musik, Art, Pendidikan Jasmani Kesehatan, Keterampilan/ Homemaking, dan bahasa Asing, merupakan perbedaan khas antara kurikulum SMP di Indonesia dan Jepang.

Alokasi waktu pembelajaran integrated course juga diberikan lebih besar dibandingkan dengan mapel yang sama di SD. Pendidikan dasar di Jepang juga dilengkapi dengan tokubetsukatsudou yang dapat diterjemahkan sebagai aktivitas khusus atau semacam ekstra kurikuler di Indonesia, tetapi agak berbeda karena kegiatan ini meliputi OSIS, kegiatan kelas, kegiatan klub olahraga dan seni, event sekolah dan pendidikan moral. Event sekolah seperti festival sekolah (gakkousai) dipersiapkan per kelas dengan bimbingan penuh dari wali kelas.

c.       SMA
Dibandingkan kurikulum SD dan SMP, kurikulum SMA di Jepang paling sering berubah. Perubahan tampak pada nomenklatur mapel, kategorisasi, dan sistem penjurusan. Sifat khas kurikulum SMA adalah kompleksnya mapel yang diajarkan. Pelajaran bahasa Jepang tidak saja dibedakan atas tatabahasa dan sastra, tetapi dikelompokkan lebih detil lagi menjadi pendidikan bahasa Jepang, literature klasik dan literature modern.

Bahasa Asing sebelum kurikulum 2002 masih memperkenalkan bahasa Jerman dan bahasa Perancis, tetapi sejak kurikulum 2002 yang dimaksud dengan bahasa asing adalah bahasa Inggris yang diajarkan dalam secara detil. Penjurusan dilakukan sejak kelas 3 SMA, dan jurusan yang ada pada dasarnya adalah jurusan rika (IPA) dan bunka (budaya/sosial). Tetapi penjurusan mengalami perkembangan semenjak semakin banyak lulusan SMA yang memilih akademi atau college dan memilih bekerja.Penjurusan dikembangkan dengan beragam mapel yang terkait dengan teknik, pertanian,perikanan, kesejahteraan masyarakat, dll.Beberapa sekolah membagi lebih detil lagi penjurusan menjadi Jurusan yang dipersiapkan untuk menghadapi ujian masuk universitas negeri dan Jurusan yang memilih universitas swasta. Misalnya, Rika A adalah kombinasi jurusan IPA dan persiapan ujian masuk PTN. Selain integrated course, pelajaran IT juga baru dimasukkan dalam kurikulum 2002.

d.      Yutorikyouiku, 5 hari sekolah, Ikiru chikara, dan Sōgotekina gakushū jikan
Kurikulum SD cenderung statis dari segi perubahan mata pelajaran, tetapi terlihat kecenderungan penurunan jumlah jam belajar per tahun. Penurunan jam pelajaran ini terlihat secara nyata sejak tahun 1980, yaitu ketika yutorikyouiku mulai diperkenalkan.Kurikulum 1971 adalah kurikulum yang sangat sarat materi sementara sekolah-sekolah di Jepang belum memadai baik dari segi fasilitas maupun kemampuan guru-gurunya. Sehingga kurikulum tersebut terlalu memberatkan dan kurang berhasil. Oleh karena itu muncullah ide untuk memberikan pendidikan yang lebih mementingkan keleluasaan waktu dan ruang. Itulah yang disebut yutorikyouiku. Jumlah jam pelajaran SD per tahun berkurang sebanyak 36 jam, dan SMP sebanyak 385 jam.
Pelaksanaan yutorikyouiku membawa dampak yang kurang bagus kepada anak-anak Jepang. Guru-guru Jepang tidak semuanya siap dan dapat memahami konsep yutorikyouiku dengan baik. Tindakan memberikan ruang dan waktu kepada siswa SD dan SMP memang terbukti dapat mengurangi rasa stress siswa akibat pelaksanaan kurikulum yang ketat sebelumnya, tetapi sekaligus menyebabkan minat belajar yang menurun. Kedisiplinan mulai mengendor, dan beberapa pihak mulai memprotes sistem yutorikyouiku.

Yutorikyouiku telah disalahartikan dalam penerapannya. Sistem pendidikan ini sebenarnya bukan bermaksud mengendorkan kedisiplinan tetapi hanya mengurangi materi belajar yang memberatkan pada setiap mapel. Dengan sistem ini diharapkan anak-anak dapat berkembang sesuai dengan minat dan kesukaannya. Pembelajaran di sekolah seharusnya diselenggarakan secara lebih menyenangkan. Oleh karena itu istilah tanoshii jugyou (kelas yang menyenangkan) juga diperkenalkan sebagai salah satu alternatif implementasi yutorikyouiku. Tetapi banyak guru yang kesulitan menciptakan kelas yang menyenangkan, atau sebaliknya guru terpaku pada kata menyenangkan, sehingga mengurangi kedisiplinan dan motivasi belajar siswa. Akibat akhirnya justru berdampak pada menurunnya prestasi akademik siswa-siswa Jepang.

Indikator pemerintah untuk mengukur keberhasilan pendidikan di Jepang adalah pengukuran internasional yang diselenggarakan negara-negara OECD, yaitu PISA dan TIMMS, sebab Jepang tidak menerapkan sistem ujian nasional. Pada tahun 1995, prestasi siswa SD dan SMP Jepang menempati urutan pertama, namun tahun-tahun selanjutnya mengalami penurunan. Pemerintah dan masyarakat mulai meragukan proses pendidikan di sekolah, dan guru-guru mendapat sorotan yang tajam sebagai pihak yang tidak mampu mendidik dengan baik.

Dalam rangka pelaksanaan yutorikyouiku, pemerintah juga menerapkan 5 hari sekolah, yaitu dari hari Senin sampai Jumat. Tujuan kebijakan ini adalah agar siswa dapat lebih banyak menghabiskan waktunya dengan keluarga dan belajar lebih banyak di lingkungannya pada akhir pekan.

Akan tetapi alih-alih belajar di lingkungan atau di keluarga, anak-anak dan orang tuanya justru kurang memahami hal ini, sehingga anak-anak bermain game di rumah, ikut ibunya berbelanja, atau banyak juga anak yang malah memanfaatkan waktu tersebut untuk ikut berbagai les privat.

Anak-anak yang memanfaatkan waktu liburnya dengan belajar, tentu saja memiliki prestasi akademik yang baik pula, tetapi sebagian besar anak justru menghabiskan waktu untuk bermain, sehingga wajar saja prestasi akademik anak-anak kemudian menurun.

Dengan hasil PISA yang mengecewakan, pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan untuk melaksanakan kembali gakuryoku tesuto (tes kemampuan akademik) tahun 2007, yang sebenarnya pernah dilaksanakan pertama kali pada tahun 1960, tetapi kemudian dihentikan pada tahun 1968 karena kenyataannya wilayah/distrik secara alami memiliki perbedaan dari sumber daya yang kemudian mengakibatkan perbedaan pelaksanaan pendidikan. Kebijakan ini dilaksanakan kembali setelah tidak berjalan kurang lebih 43 tahun.

Karakteristik kurikulum Jepang yang lainnya adalah ide ikiru chikara dan sōgōtekina gakushū jikan. Konsep ikiru chikara adalah konsep yang hendak membudayakan jiwa dan melatih kekuatan dan kemampuan untuk hidup di tengah masyarakat. Konsep ini dijabarkan sebagai hal yang harus dididikkan untuk mempersiapkan generasi muda Jepang memasuki abad 21.
Konsep ikiru chikara selanjutnya diikuti dengan kebijakan sōgōtekina gakushū jikan pada kurikulum 2002. Konsep sōgōteki gakushū jikan adalah konsep pembelajaran tematik, mengajak siswa untuk mengenal lingkungan, budaya dan alam sekitarnya, kehidupan masyarakat, ekonomi desanya, industri yang ada di lingkungan tinggalnya.
Implementasinya misalnya, sebuah sekolah menerapkan weekly trial, yaitu kesempatan bagi anak-anak untuk mencoba menjadi penjual, nelayan, pelayan di restoran, dll.

Pada dasarnya pemahaman guru terhadap sōgōteki gakushuu jikan menurut Kiyohara (2007) masih sangat rendah. Beberapa sekolah yang tidak memiliki konsep yang baik, terpaksa meniru penerapan di sekolah lain.Konsep sōgōtekina gakushū jikan bukan sekedar belajar di luar buku pelajaran atau pembelajaran ekstra kurikuler, tetapi dalam penerapannya anak-anak tetap harus diasah dan diuji kemampuan kerja otak, jiwa, dan tubuhnya. Oleh karena itu ketika berperan sebagai nelayan misalnya, mereka belajar prinsip-prinsip matematika, belajar berkomunikasi dengan baik, belajar tentang ilmu bumi dan cuaca. Bukan sekedar pengalaman kerja (lih.Ramli, 2008a).

Pertukaran budaya asing (internasionalisasi) termasuk wacana yang diusung dalam sougotekina gakushū jikan. Pengenalan terhadap budaya asing diberikan melalui presentasi mahasiswa asing di kelas-kelas TK, SD, SMP, dan SMA. Ini bisa dilakukan dengan mengedarkan permintaan kepada universitas-universitas di daerah setempat. Siswa-siswa juga diminta mencari informasi sebanyak mungkin tentang negara asing dan menyusun sebuah presentasi. Beberapa sekolah menerjemahkan pembelajaran budaya asing ini dengan misalnya mengumpulkan bantuan untuk anak-anak korban bencana di Indonesia, seperti yang dilakukan oleh beberapa sekolah di Aichi.

D. MENILAI MUTU PENDIDIKAN
Guru tetap melakukan ulangan sekali-kali untuk mengecek daya tangkap siswa. Dan penilaian ulangan pun tidak dengan angka tetapi dengan huruf : A, B, C, kecuali untuk matematika. Dari kelas 4 hingga kelas 6 juga dilakukan test IQ untuk melihat kemampuan dasar siswa. Data ini dipakai bukan untuk mengelompokkan siswa berdasarkan hasil test IQ-nya, tetapi untuk memberikan perhatian lebih kepada siswa dengan kemampuan di atas normal atau di bawah normal. Perlu diketahui, siswa-siswa di Jepang tidak dikelompokkan berdasarkan kepandaian, tetapi semua anak dianggap `bisa` mengikuti pelajaran, sehingga kelas berisi siswa dengan beragam kemampuan akademik. Compulsory Education di Jepang dilaksanakan dengan prinsip memberikan akses penuh kepada semua anak untuk mengenyam pendidikan selama 9 tahun (SD dan SMP) dengan menggratiskan tuition fee, dan mewajibkan orang tua untuk menyekolahkan anak (ditetapkan dalam Fundamental Law of Education).
Oleh karena itu mutu siswa SD dan SMP di Jepang yang bersekolah di sekolah negeri dapat dikatakan `sama`, sebab Ministry of Education menkondisikan equality di semua sekolah. Saat ini tengah digalakkan program reformasi yang memberi kesempatan kepada sekolah untuk berkreasi mengembangkan proses pendidikannya, tetapi tetap saja dalam pantauan MOE.

E. PENYUSUNAN KURIKULUM SEKOLAH DI JEPANG

Buku yang direkomendasikan Nanbu sensei berjudul Educational System and Administration in Japan, terbitan Kansai Society for Educational Administration pada tahun 1999.  Buku ini barangkali satu-satunya literatur berbahasa Inggris yang disusun oleh pakar pendidikan Jepang yang menceritakan tentang administrasi pendidikan di Jepang.  Penerbitannya dalam edisi yang sangat terbatas, dan hanya ada satu exempla di perpustakaan Fak. Pendidikan Nagoya University.
Seperti halnya di Indonesia, di Jepang pun kurikulum disusun oleh sebuah komite khusus dibawah kontrol Kementerian Pendidikan (MEXT).  Komisi Kurikulum terdiri dari wakil dari Teacher Union, praktisi dan pakar pendidikan, wakil dari kalangan industri, dan wakil MEXT.  Komisi ini bertugas mempelajari tujuan pendidikan Jepang yang terdapat dalam Fundamental Education Law (Kyouiku kihonhou), lalu menyesuaikannya dengan perkembangan yang terjadi baik di dalam maupun luar negeri.  Namun, karena unsur politik sangat kental mewarnai wakil-wakil yang duduk dalam komisi ini maka tak jarang terjadi perdebatan panjang terutama antara wakil teacher union dan wakil kementerian dalam penyusunan draft kurikulum.
Pembaharuan kurikulum di Jepang berlangsung setiap 10 tahun sekali, dan kurikulum terbaru yang diterbitkan di tahun 1998 adalah pembaharuan ketujuh sejak kurikulum yang diterapkan pada Perang Dunia II. Kurikulum 1998 membawa angin baru dalam dunia pendidikan Jepang.  Kurikulum ini berbeda dengan kurikulum sebelumnya berdasarkan konsep yang dibawanya yaitu pendidikan yang berorientasi kepada pengembangan beragam personality siswa, bukan seperti sebelumnya yaitu common education, atau pendidikan yang sama untuk semua siswa.
Guru-guru di Jepang sejak perang percaya bahwa pendidikan harus bersifat massal dan sama, bahkan pendidikan yang menjurus kepada kekhasan tertentu atau menerapkan pola/metode yang lain daripada yang lain dianggap salah.  Guru-guru Jepang senantiasa menjaga image bahwa semua siswa harus memiliki prestasi yang sama, kedisiplinan yang sama dengan sistem pendidikan yang serupa.  Namun adanya kurikulum baru menyadarkan mereka bahwa setiap anak punya potensi yang berbeda dengan lainnya, dan inilah yang harus dibina.
Kurikulum yang baru bersifat fleksibel dan memungkinkan sekolah untuk meramu kurikulum sendiri berdasarkan kondisi daerah, sekolah dan siswa yang mendaftar. Sebagai contoh, di SMP, selain mata pelajaran wajib, siswa juga ditawarkan dengan mapel pilihan.
Dengan adanya kurikulum baru ini, training besar-besaran dilakukan untuk mengubah pola pikir guru-guru Jepang.  MEXT juga merevisi beberapa buku pelajaran, dan secara hampir bersamaan mengusulkan pemberlakuan 5 hari sekolah dan adanya jam khusus untuk pengembangan jiwa sosial siswa melalui integrated course atau sougoteki jikan.
Kurikulum di level sekolah disusun dengan kontrol penuh dari The Board of Education di Tingkat Prefectur dan municipal (distrik).  Karena kedua lembaga ini masih terkait erat dengan MEXT, maka pengembangan kurikulum Jepang masih sangat kental sifat sentralistiknya.  Namun rekomendasi yang dikeluarkan oleh Central Council for Education (chuuou shingi kyouiku kai) pada tahun 1997 memungkinkan sekolah berperan lebih banyak dalam pengembangan kurikulum di masa mendatang.
Beberapa hal berikut harus diperhatikan ketika sekolah menyusun kurikulumnya :
1.      Mengacu pada standart kurikulum nasional
2.      Mengutamakan keharmonisan pertumbuhan jasmani dan rohani siswa
3.      Menyesuaikan step perkembangan siswa
4.      Menyesuaikan dengan lingkungan sekitar
5.      Memperhatikan karakteristik course pendidikan/jurusan pada level SMA



Secara garis besar penyusunan kurikulum sekolah adalah sebagai berikut :
1.      Menetapkan tujuan sekolah
2.      Mempelajari standar kurikulum, dan korelasinya dengan tujuan sekolah
3.       menyusun course wajib dan pilihan untuk SMP dan SMA
4.      Mengalokasikan hari efektif sekolah dan jam belajar.
















BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Setiap Negara mempunyai cirri khas tersendiri terhadap system opendidikan yang diterapkan di negaranya tersebut. Tidak memungkinkan, setiap kepala Negara atau setiap pemimpin suatu Negara menerapkan suatu kebijakan untuk memajukan system pendidikan dan sumber daya manusia agar negaranya dapat maju.
B.     SARAN
Apabila dalam penulisan makalah ini ad terjadi kesalahan kepenulisan, kami sebagai penyusun meminta maaf dan meminta saran agar makalah ini lebih sempurna lagi.

















DAFTAR PUSTAKA

Ummy.2013.Jepang-Sistem-Pendidikan-dan-Perbandingannya-dengan-Indonesia-Part-2.htm
kurikulum-dan-kompetendi-guru-di-jepang_25.html
kurikulum-pendidikan-jepang-singapura.html
Muatan%20Kurikulum%20Pendidikan%20Dasar%20_%20henisatyanto.htm
Penyusunan%20Kurikulum%20Sekolah%20di%20Jepang%20(1)%20_%20Berguru.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar