BAB XI
POLITIK, DEMOKRASI, DAN HAM MENURUT ISLAM
A. PENGERTIAN POLITIK ISLAM
Kata politik berasal dari bahasa Yunani, polis
yang berarti “kota”. Pada zaman sekarang ini istilah politik berarti “segala
aktifitas atau sikap yang bermaksud mengatur kehidupan masyarakat. Di dalamnya
terkandung unsure kekuasaan untuk membuat aturan hokum dan menegakkannya dalam
kehidupan masyarakat yang bersangkutan.” (Salim, 1994;291).
Kata Negara menurut Webster’s Dictionary,
Negara adalah sejumlah orang yang mendiami secara permanen suatu wilayah
tertentu dan diorganisasikan secara politik di bawah suatu pemerintahan yang
berdaulat yang hampir sepenuhnya bebas dari pengawasan luar, serta memiliki
kekuasaan paksa demi mempertahankan keteraturan dalam masyarakat. (Gove,et.
Al., 1982;22-28).
Politik Islam adalah aktifitas politik sebagian
umat Islam yang menjadikan Islam sebagai acuan nilai dan basis solidaritas
berkelompok.
1. Perspektif Al-Qur’an tentang
Politik-Pemerintahan
Al-Qur’an
sebagai petunjuk (hudan) bagi umat manusia, menyediakan suatu dasar yang kokoh dan
permanen bagi seluruh prinsip-prinsip etika dan moral yang diperlukan dalam
kehidupan ini termasuk di dalamnya masalah politik. Untuk menerapkan Al-Qur’an
dalam kehidupan politik diperlukan usaha yang sungguh-sungguh dalam memaknainya
agar memperoleh pemahaman yang tepat, karena Al-Qur’an tidak menyebutkan secara
eksplisit dalam ayat-ayatnya.
Dalam
kehidupan politik ketatanegaraan, terlihat fenomena kecanggungan umat Islam
dalam memecahkan masalah persoalan-persoalan fundamental. Karenanya, orang akan
sia-sia mencari konsepsi Al-Qur’an tentang system pemerintahan. Dengan kata
lain, Al-Qur’an tidak memberikan suatu teori ketatanegaraan yang baku, yang
harus di ikuti umat Islam di seluruh negeri.
Tujuan
terpenting Al-Qur’an adalah agar nilai-nilai dan pemerintah-pemerintah etikanya
di junjung tinggi dan bersifat mengikat atas kegiatan-kegiatan sosio-politik
umat manusia. Dalam system pemerintahan perhatian utama Al-Qur’an ialah agar
masyarakat ditegakkan atas keadilan dan moralitas.
2. Variasi Pandangan Umat Islam dalam Melihat Relasi
Islam dan Politik
Memandang relasi Islam dan politik secara
kategori:
Pertama, kelompok “Islam politik”(al-Islam al-siyasi),
yaitu kelompok yang dengan gigih menginginkan diwujudkannya syariat Islam dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara melalui pranata Negara. Masuk dalam kelompok
ini adalah Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridha, Hasan al-Banna, dan abu al-A’la
al-Maududi.tiga prisip utama dalam kelompok ini adalah : (1) politik adalah
bagian integral dari Islam, karena itu praktik politik wajib dilakukan oleh
setiap orang Islam. (2) Islam politik sudah menjadi anutan mayoritas kaum
muslimin (jama’ah al-muslimin). (3) Menegakkan jihad fi sabillah(berjuang di
jalan Allah).
Kedua, kelompok moderat (al-mutawassith) yang
berpandangan bahwa hubungan agama dengan politik-ketatanegaraan adalah relasi
etik dan moral. Negara adalah instrument politik untuk menegakkan nilai dan
akhlak Islam yang bersifat universal. Tokoh-tokohnya adalah Ahmad Amin,
Muhammad Husain Haikal, Muhammad ‘Imarah, Fazlur Rahman, Robert N. Bellah, Amin
Rais, dan Jalaludin Rahmat (Ghazali, 2002;175).
Ketiga, kelompok kiri Islam (al-yasar al-Islami) yang
menolak penerapan syariat dan pembentukan Negara Islam. Tokohnya antara lain
‘Ali ‘Abd al-Raziq, Muhammad Sa’id al-Asymawi, Muhammad Ahmad Khalfallah, Faraj
Faudah, dan Abdurrahman Wahid. (Khan, 1982;75-76).
Alasan
kelompok ini adalah:
1.
Persoalan
politik merupakan persoalan historis, bukan teologis yang harus diyakini oleh
setiap individu muslim. Tujuannya adalah agar tidak terjadi politisasi agama
hanya untuk kepentingan kelompok dan golongan tertentu.
2. Praktik politik bukanlah suatu kewajiban agama
yang harus dijalankan oleh para pemeluknya. Hakikat Islam adalah agama
kemanusiaan yang sangat menjunjung tinggi perbedaan.
3. Konsep jihad dalam Islam adalah jihad melawan
hawa nafsu.
Sebab-sebab terjadi teori-teori keragaman
politik Islam:
1. Belum ada kesepakan tentang apa yang
dimaksud syariat Islam itu.
2. Negara Islam yang didirikan oleh Nabi Muhammad
SAW di Madinah itu dipandang ideal ternyata tidak memberikan model yang
terperinci, yang bisa dipakai dalam konteks kenegaraan sekarang.
3.
Belum
ada rumusan konseptual yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan pemerintahan
Islam (hukumah Islamiyah) atau Negara Islam (daulah Islamiyah) itu. (Ghazali, 2002;176).
Menurut
‘Imarah, teori politik islam yang disepakati para sarjana Muslim meletakkan
politik sebagai persoalan social yang profane dalam bingkai prinsip-prinsip
agama bagi pengelolaan hidup bermasyarakat, atau ketentuan-ketentuan dasar yang
mengatur perilaku manusia dalam kehidupan dan pergaulan dengan sesama yang ada
pada gilirannya akan mewarnai pola kehidupan politiknya.
Islam
menangani penataan kehidupan publik dalam rangka menuju kebahagiaan abadi di akhirat
kelak, sedangkan politik merupakan bagian dari agama tetapi bukan manifestasinya
dan bukan pula paradoksi.
Institusi Khalifah dalam Tradisi Politik Islam
Bukti
dari tidak adanya rujukan tekstual dan konklusif dari Khilafah adalah bahwa
setelah nabi Muhammad SAW wafat, para sahabat tidak memperoleh acuan normative
dari nabi SAW untuk menentukan figure penggantinya sebagai penyelenggara
tugas-tugas eksekutif pemerintahan Madinah. Nabi SAW memang tidak memberikan
criteria untuk calon penggantinya kelak
setelah kewafatannya. Criteria-krieteria yang diperlukan untuk mengankat
pengganti beliau diperoleh dari gagasan para sahabat, yang kemudian mereka
tuangkan dalam bentuk prosedur pengangkatan Abu Bakar al-Shiddiq sebagai
Khalifah (pengganti) Nabi.
Para
ahli menilai bahwa prosedur pemilihan Abu Bakar merupak sebuah konsep
demokratis, karena didasarkan pada asas kompetitif serta partisipasi public
lewat tiga tahap: pencalonan, kompromi antarkelompok, dan bay’at. Jika di runut
dari sirah Nabi Muhammad SAW, beliau
tidak menentukan bentuk khusus bagi suatu bentuk pemerintahan. Ini tidak lain
masalah pemerintahan merupakan urusan keduniawian. Masalah Khalifah adalah
masalah ijtihadiyah bukan tauqifiyah . Khalifah dari sudut
kelembagaannya masuk dalam kategori institusi social yang bisa berubah dari waktu ke waktu.
B. PRINSIP-PRINSIP DASAR DAN CITA-CITA POLITIK
ISLAM
Terdapat empat prinsip dasr dalam politik
Islam:
1. Prinsip
Amanat
Prinsip pertama mengandung makna bahwa
kekuasaan politik yang dimiliki oleh pemerintah merupakan amanat Allah dan juga
amanat rakyat yang telah mengangkatnya melalui bay’at. Sebagai amanat dari
Allah, prinsip ini menghendaki agar pemerintah melaksanakan tugas-tugasnya
dengan memenuhi hak-hak yang diatur dan dilindungi oleh hokum Allah, termasuk
didalamnya amanat yang di bebankan oleh agama dan yang di bebankan oleh
individu dan masyarakat sehingga tercapai masyarakat yang sejahtera dan
sentosa.
Menurut Al-Maraghi klasifikasi amanat di bagi
atas:
a. Tanggung jawab manusia terhadap Tuhannya
b. Tanggung jawab manusia terhadap sesamanya
c. Tanggun jawab manusia terhadap dirinya sendiri.
Menurut
Thanthawi Jauhari, amanat adalah segala yang di percayakan orang, berupa
perkataan, perbuatan, harta dan pengetahuan, atau segala nikmat yng ada pada
manusia yang berguna bagi dirinya dan orang lain.
2. Prinsip Keadilan
Keadilan juga mengandung arti bahwa pemerintah
berkewajiban mengatur masyarakat dengan membuat aturan-aturan hokum yang adil
berkenaan dengan masalah-masalah yang tidak tentu secara rinci atau didiamkan
oleh hokum Allah. Jadi, penyelenggaraan pemerintahan berjalan di atas hokum dan
bukan atas dasar atau kehendak pemerintah atau pejabat. Criteria keadilan dalam
pembuatan hokum perundang-undangan menghendaki agar hokum yang di buat itu
berorientasi kepada fitrah atau kodrat manusia.
3. Prinsip Ketaatan
Maknanya dalam prinsip ini adalah wajibnya
hokum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an dan sunnah di taati. Hokum
perundang-undangan dan kebijakan pemerintah wajib di taati. Hokum perundang-undangan
dan kebijakan politik yang diambil oleh pemerintah harus sejalan dan tidak
boleh bertentangan dengan hokum agama. Apabila tidak sesuai dengan hokum agama,
maka hokum dan kebijakan tersebut dianggap gugur. Ada keharusan yang bersifat
timbale balik dalam prinsip ketaatan ini, rakyat wajib menaati pemerintah,
pemerintah wajib menaati Allah dan Rasul-Nya, tertera dalam firman Allah Q.S.
An-Nissa:59
4. Prinsip Musyawarah
Hokum perundang-undangan dan kebijakan politik
ditetapkan melalui musyawarah diantara mereka yang berhak. Rumusan metode
pembinaan hokum perundang-undangan, tata cara atau mekanisme musyawarah yang
bersumber dari ajaran-ajaran Al-Qur’an dan sunnah. (Salim, 1994; 306-307).
Prinsip musyawarah diperlukan agar para penyelenggara Negara dapat melaksanakan
tugasnya dengan baik dan bertukar pikiran dengan siapa saja yang dianggap tepat
guna mencapai yag terbaik untuk semua. (Shihab, 1999; 429).
Dari penjelasan tersebut Shihab mneyimpulkan terlihat
bahwa Al-Qur’an tidak menjadikan perbedaan agama sebagai alasan untuk tidak menjalin
kerjasama apalagi mengambil sikap untuk tidak bersahabat.
Cita-cita politik Islam menurut Al-Qur’an
adalah: (1) terwujudnya sebuah system politik (2) berlakunya hokum Islam dalam
masyarakat yang mantap (3) terwujudnya ketentraman dalam kehidupan masyarakat.
Ini merupakan ideology Islam karena cita-cita ini merupakan nilai-nilai yang
diharapkan terwujud, sehingga dengan begitu diperoleh sarana dan wahana untuk
aktualisasi kodrat manusia sebagai makhluk ‘abid yang diberikan kedudukan sebagai
khalifah dalam membangun kemakmuran di muka bumi, untuk kebahagiaannya dalam
kehidupan dunia-akhirat.
Cita-cita tersebut hanya bisa tercapai dengan
iman dan amal. Manusia harus mengakui dan mengikuti kebenaran yang dibawa oleh
Rasul Allah SAW, serta melaksanakan pembangunan materi-spiritual, memelihara
dan mengembangkan ketertiban dan keamanan bersama. Hakikatnya yaitu penerapan
hokum-hukum dan ajaran agama yang di wajibkan atas setiap mukmin dan pemerintah
sebagai pemegang kekuasaan politik. Dengan demikian kedudukan kekuasaan politik
sebagai sarana dan wahana, sedangkan pemerintah merupakan pelaksana bagi
tegaknya ajaran agama (Salim, 1994; 298).
C. PRINSIP-PRINSIP POLITIK LUAR NEGERI DALAM ISLAM
Walaupun
berbedaan setiap manusia diharapakan tumbuh rasa persaudaraan dan persamaan,
serta sikap hormat-menghormati antar satu orang, golongan atau bangsa seperti
firman-Nya dalam Q.S. Al-Hujarat: 13
“Wahai
manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan, dan Kami telah menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di
antara kamu dalam pandangan Allah adalah mereka yang paling bertaqwa.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mendengar.”
Pengertian
ta’aruf menurut konsep Al-Qur’an adalah, (1) memahami dan mengetahui bahasa,
kebudayaan, dan adat istiadat suatu bangsa, (2) membina dan menumbuhkan saling
pengertian di antara bangsa-bangsa di dunia ini. Al-Qur’an menginginkan agar
bangsa-bangsa di dunia saling hormat-menghormati antara satu dengan yang
lainnya serta senantiasa membina dan menumbuhkan rasa aman dan damai di antara
bangsa-bangsa di dunia ini. (3) Al-Qur’an dengan konsep kenal-mengenal di
antara bangsa-bangsa di dunia ini pada hakekatnya menginginkan terwujudnya
perdamaian dunia yang nyata dan langgeng.
1. Etika Bertetangga (jiwa) Dengan Baik
Etika
bertetangga dengan baik sangat erat kaitannya dengan iman. Dalam sebuah hadist
Nabi Muhammad SAW disebutkan bahwa seorang muslim belum dapat dikatakan beriman
apabila ia tidak melaksanakan etika bertetangga dengan baik terhadap para
tetangganya. Prinsip bertetangga wajib diterapkan oleh negara dan pemerintahan
Islam agar perdamaian dapat dipelihara.
2.
Hubungan
Internasional
Prinsip
pokok hubungan internasional menurut doktrin islam:
v Pertama, hubungan internasional dilandasi
dengan prinsip untuk memelihara ketertiban dan perdamaian dunia
v Kedua, doktrin Islam memerintahkan kepada
pemeluknya agar memenuhi persetujuan-persetujuan dan perjanjian-perjanjian
Internasional
v Ketiga, hubungan Internasional dilaksanakan
dengan cara pertukaran duta atau utusan.
D. DEMOKRASI DALAM ISLAM
1.
Konsep
dan Sejarah Demokrasi dalam Islam
Di dalam
Islam masih terjadi polemik antara ada atau tidaknya ajaran demokrasi dalam
Al-Qur’an dan hadis. Pertemuan Islam dan demokrasi merupakan pertemuan peradaban,
ideologi, dan latar belakang sejarah yang jauh berbeda.
2.
Segi
Positif dan Negatif Demokrasi
·
Sisi
Positif dan Negatif Demokrasi
S.N. Dubey (dalam Muslim.or.id.2007) mencatat 8
segi positif demokrasi, yaitu :
1.
Melindungi
kebebasan individual
2.
Menjamin
persamaan hak
3.
Mendidik
rakyat jelata
4.
Mengembangkan
karakter rakyat
5.
Memperkembangkan
cinta tanah air
6.
Pencegah
pergolakan
7.
Menghasilkan
kemajuan
8.
Menciptakan
ketepatgunaan yang baik
Dalam
demokrasi dikumandangkan semangat Liberte,
Egalite, Fraternite, yaitu : kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan yang
diharapkan akan tercipta dalam pemerintahan yang demokratis.
·
Segi
negatif demokrasi:
1. Adanya sekelompok orang yang dapat merekayasa
masyarakat melalui propaganda
2. Adanya money politic
3. Munculnya kekuasaan yang bertumpu pada tirani
dan teror
4. Banyak yang dapat dipengaruhi oleh para demagog
dan akhirnya akan merosot jadi kediktatoran
3 Pandangan Islam Tentang Demokrasi:
Pemahaman
umat islam terhadap demokrasi mewujudkan pemikiran yang terkadang berseberangan
antara satu kelompok dengan yang lain.
Esposito
dan Piscatori (dalam Eko Taranggono, 2002), mengidentifikasi adanya tiga varian
pemikiran mengenai hubungan islam dan demokrasi, yaitu :
Pertama, Islam menjadi sifat dasar demokrasi, karena
konsep syura, ijtihad, dan ijma’ merupakan konsep yang sama dengan demokrasi .
Kedua, Islam tidak berhubungan dengan demokrasi.
Ketiga, Theodemocracy yang diperkenalkan oleh
al-Maududi berpandangan bahwa Islam merupakan dasar demokrasi.
Eko
Trenggono (2002) mengangkat pendapat Dahl dan Beetham tentang demos dan kratos
yang dapat mendekatkan maknanya dengan pemahaman Islam tentang demokrasi:
·
Dahl
mengatakan, “ The demos should include all adult subject to the binding
collective decision of the association “. Yang mempunyai maksud bahwa semua individu
yang telah dewasa bisa terlibat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut
seluruh aspek kehidupan.
·
Menurut
Beetham yang disebut pemerintahan demokrasi “ is based on popular control
and political equality” yang
memmpunyai maksud bahwa demokrasi itu didasarkan atas kepentingan bersama dan
persamaan hak.
Sistem
demokrasi dipandang sebagai suatu sistem politik yang lebih dekat dengan Islam
dibanding dengan liberalisme atau otokrasi:
·
Demokrasi
Islam dianggap sebagai sistem yang mengukuhkan konsep-konsep islami yamg sudah
lama berakar yaitu :
1. musyawarah (syura),
2. kesepakatan (ijma’), dan
3. penilaian interpretatif yang mandiri (ijtihad).
Islam
menginginkan demokrasi yang disemangati oleh nilai-nilai syariat, kemanusiaan,
dan kemasyarakatan dengan kata lain yang diinginkan dalam islam adalah
“demokrasi plus”, yaitu demokrasi yang tetap menjunjung kebenaran agama dan aspirasi
rakyat banyak.
E. HAK DAN KEWAJIBAN ASASI MANUSIA MENURUT AJARAN
ISLAM
1. Pengertian HAk Asasi Manusia dan Kewajiban
Asasi Manusia
Hak asasi manusia adalah hak dasar manusia yang
secara kodrati dianugerahkan oleh Allah SWT kepadanya tanpa perbedaan. Dengan
ini manusia dapat mengembangkan diri pribadi, peranan, dan sumbangsih bagi
kesejahteraan hidup manusia.
Pada piagam Madinah secara lugas menetapkan hak
dan kewajiban masyarakat Madinah, baik sebagai individu maupun masyarakat
secara adil dan proporsional. Rasul Allah SAW menetapkan bahwa hak yang di
peroleh anggota masyarakat seimbnag dengan kewajiban yang ditunaikannya.
Kewajibannya yang dilakukan merupakan ibadah yang bukan saja terkait dengan
manusia, melainkan juga dengan Allah SWT.
2. Hak Asasi Manusia Menurut Piagam PBB
Pola pemikiran barat lebih di fokuskan pada
hak-hak asasi dari pada kewajiban-kewajibannya. Akibatnya dari pandangan itu
manusia lebih banyak menuntut hak-hak dari pada memenuhi
kewajiban-kewajibannya. HAM lebih bersifat antroposentris yang melihat
kepentingan individu lebih dari segalanya.
Pada Deklarasi universal mempunyai cirri-ciri
menonjol:
1. Agar kita tidak kehilangan gagasan yang sudah
tegas, karena hak asasi manusia adalah hak.
2. Hak-hak ini dianggap bersifat universal, yang
dimiliki manusia semata-mata karena ia dalaha manusia.
3. Hak asasi manusia dianggap ada dengan
sendirinya, dan tidak bergantung pada pengakuan dan penerapannya di dalam
system adat atau system hokum di Negara-negara tertentu.
4. Hak asasi manusia di pandang sebagai
norma-norma yang penting.
5. Hak-hak ini mengimplikasikan kewajiban individu
maupun pemerintah.
3. Pandangan Islam tentang Haka Asasi dan
Kewajiban Asasi Manusia
Dalam konsep Islam, manusia dan jin diciptakan
untuk mengemban kewajiban-kewajibannya. Kewajiban yang utama adalah menyembah
Allah SWT. Pada hakikatnya, hak-hak manusia merupakan suatu imbalan yang harus
di terima setelah menunaikan kewajiban-kewajibannya.
Salah satu hokum Islam adalah hak itu baru
timbul setelah kewajiban dilaksanakan dan di tunaikan. Dalam hokum Islam
terdapat fardhu kifayah dan fardhu ‘ain. Fardhu kifayah adalah suati kewajiban
kolektif yang apabial di laksanakan oleh sebagian atau sejulah anggota
masyarakat, maka anggota masyarakat yang lainnya yang tidak melaksanakan
kewajiban itu dianggap telah menunaikan kewajiban tersebut sehingga mereka
bebas dari tuntutan pertanggung jawaban.
Kewajiban manusia:
1. Kewajiban terhadap Allah.
2. Kewajiban terhadap diri sendiri.
3. Kewajiban terhadap keluarga.
4. Kewajiban terhadap tetanga.
5. Kewajiban terhadap buruh.
6. Kewajiban terhadap harta.
7. Kewajiban terhadap Negara
8. Kewajiban terhadap lingkungan hidup.
Di dalam
al-Qur’an, prinsip-prinsip hak manusia, sebagaimana terdapat pada UDHR
dilukisakan dalam berbagai ayat Al-Qur’an, yaitu:
1. Martabat manusia
2. Prinsip persamaan
3. Prinsip kebebsan menyatakan pendapat
4. Prinsip kebesan beragama
5. Hak jaminan social
6. Hak
atas harta benda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar