Senin, 05 Mei 2014

Politik, Demokrasi, dan HAM Menurut Islam



BAB XI
POLITIK, DEMOKRASI, DAN HAM MENURUT ISLAM
                                    
A.  PENGERTIAN POLITIK ISLAM
Kata politik berasal dari bahasa Yunani, polis yang berarti “kota”. Pada zaman sekarang ini istilah politik berarti “segala aktifitas atau sikap yang bermaksud mengatur kehidupan masyarakat. Di dalamnya terkandung unsure kekuasaan untuk membuat aturan hokum dan menegakkannya dalam kehidupan masyarakat yang bersangkutan.” (Salim, 1994;291).
Kata Negara menurut Webster’s Dictionary, Negara adalah sejumlah orang yang mendiami secara permanen suatu wilayah tertentu dan diorganisasikan secara politik di bawah suatu pemerintahan yang berdaulat yang hampir sepenuhnya bebas dari pengawasan luar, serta memiliki kekuasaan paksa demi mempertahankan keteraturan dalam masyarakat. (Gove,et. Al., 1982;22-28).
Politik Islam adalah aktifitas politik sebagian umat Islam yang menjadikan Islam sebagai acuan nilai dan basis solidaritas berkelompok.
1.      Perspektif Al-Qur’an tentang Politik-Pemerintahan

Al-Qur’an sebagai petunjuk (hudan) bagi umat manusia, menyediakan suatu dasar yang kokoh dan permanen bagi seluruh prinsip-prinsip etika dan moral yang diperlukan dalam kehidupan ini termasuk di dalamnya masalah politik. Untuk menerapkan Al-Qur’an dalam kehidupan politik diperlukan usaha yang sungguh-sungguh dalam memaknainya agar memperoleh pemahaman yang tepat, karena Al-Qur’an tidak menyebutkan secara eksplisit dalam ayat-ayatnya.
Dalam kehidupan politik ketatanegaraan, terlihat fenomena kecanggungan umat Islam dalam memecahkan masalah persoalan-persoalan fundamental. Karenanya, orang akan sia-sia mencari konsepsi Al-Qur’an tentang system pemerintahan. Dengan kata lain, Al-Qur’an tidak memberikan suatu teori ketatanegaraan yang baku, yang harus di ikuti umat Islam di seluruh negeri.

Tujuan terpenting Al-Qur’an adalah agar nilai-nilai dan pemerintah-pemerintah etikanya di junjung tinggi dan bersifat mengikat atas kegiatan-kegiatan sosio-politik umat manusia. Dalam system pemerintahan perhatian utama Al-Qur’an ialah agar masyarakat ditegakkan atas keadilan dan moralitas.

2.      Variasi Pandangan Umat Islam dalam Melihat Relasi Islam dan Politik
Memandang relasi Islam dan politik secara kategori:
Pertama, kelompok “Islam politik”(al-Islam al-siyasi), yaitu kelompok yang dengan gigih menginginkan diwujudkannya syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui pranata Negara. Masuk dalam kelompok ini adalah Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridha, Hasan al-Banna, dan abu al-A’la al-Maududi.tiga prisip utama dalam kelompok ini adalah : (1) politik adalah bagian integral dari Islam, karena itu praktik politik wajib dilakukan oleh setiap orang Islam. (2) Islam politik sudah menjadi anutan mayoritas kaum muslimin (jama’ah al-muslimin). (3) Menegakkan jihad fi sabillah(berjuang di jalan Allah).
Kedua, kelompok moderat (al-mutawassith) yang berpandangan bahwa hubungan agama dengan politik-ketatanegaraan adalah relasi etik dan moral. Negara adalah instrument politik untuk menegakkan nilai dan akhlak Islam yang bersifat universal. Tokoh-tokohnya adalah Ahmad Amin, Muhammad Husain Haikal, Muhammad ‘Imarah, Fazlur Rahman, Robert N. Bellah, Amin Rais, dan Jalaludin Rahmat (Ghazali, 2002;175).
Ketiga, kelompok kiri Islam (al-yasar al-Islami) yang menolak penerapan syariat dan pembentukan Negara Islam. Tokohnya antara lain ‘Ali ‘Abd al-Raziq, Muhammad Sa’id al-Asymawi, Muhammad Ahmad Khalfallah, Faraj Faudah, dan Abdurrahman Wahid. (Khan, 1982;75-76).
Alasan kelompok ini adalah:  
1.      Persoalan politik merupakan persoalan historis, bukan teologis yang harus diyakini oleh setiap individu muslim. Tujuannya adalah agar tidak terjadi politisasi agama hanya untuk kepentingan kelompok dan golongan tertentu.
2.      Praktik politik bukanlah suatu kewajiban agama yang harus dijalankan oleh para pemeluknya. Hakikat Islam adalah agama kemanusiaan yang sangat menjunjung tinggi perbedaan.
3.      Konsep jihad dalam Islam adalah jihad melawan hawa nafsu.
Sebab-sebab terjadi teori-teori keragaman politik Islam:
1.      Belum ada kesepakan tentang apa yang dimaksud  syariat Islam itu.
2.      Negara Islam yang didirikan oleh Nabi Muhammad SAW di Madinah itu dipandang ideal ternyata tidak memberikan model yang terperinci, yang bisa dipakai dalam konteks kenegaraan sekarang.
3.      Belum ada rumusan konseptual yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan pemerintahan Islam (hukumah Islamiyah) atau Negara Islam (daulah Islamiyah) itu. (Ghazali, 2002;176).
Menurut ‘Imarah, teori politik islam yang disepakati para sarjana Muslim meletakkan politik sebagai persoalan social yang profane dalam bingkai prinsip-prinsip agama bagi pengelolaan hidup bermasyarakat, atau ketentuan-ketentuan dasar yang mengatur perilaku manusia dalam kehidupan dan pergaulan dengan sesama yang ada pada gilirannya akan mewarnai pola kehidupan politiknya.
Islam menangani penataan kehidupan publik dalam rangka menuju kebahagiaan abadi di akhirat kelak, sedangkan politik merupakan bagian dari agama tetapi bukan manifestasinya dan bukan pula paradoksi.

Institusi Khalifah dalam Tradisi Politik Islam
Bukti dari tidak adanya rujukan tekstual dan konklusif dari Khilafah adalah bahwa setelah nabi Muhammad SAW wafat, para sahabat tidak memperoleh acuan normative dari nabi SAW untuk menentukan figure penggantinya sebagai penyelenggara tugas-tugas eksekutif pemerintahan Madinah. Nabi SAW memang tidak memberikan criteria  untuk calon penggantinya kelak setelah kewafatannya. Criteria-krieteria yang diperlukan untuk mengankat pengganti beliau diperoleh dari gagasan para sahabat, yang kemudian mereka tuangkan dalam bentuk prosedur pengangkatan Abu Bakar al-Shiddiq sebagai Khalifah (pengganti) Nabi.
Para ahli menilai bahwa prosedur pemilihan Abu Bakar merupak sebuah konsep demokratis, karena didasarkan pada asas kompetitif serta partisipasi public lewat tiga tahap: pencalonan, kompromi antarkelompok, dan bay’at. Jika di runut dari  sirah Nabi Muhammad SAW, beliau tidak menentukan bentuk khusus bagi suatu bentuk pemerintahan. Ini tidak lain masalah pemerintahan merupakan urusan keduniawian. Masalah Khalifah adalah masalah ijtihadiyah bukan tauqifiyah . Khalifah dari sudut kelembagaannya masuk dalam kategori institusi social yang bisa  berubah dari waktu ke waktu.

B.   PRINSIP-PRINSIP DASAR DAN CITA-CITA POLITIK ISLAM
Terdapat empat prinsip dasr dalam politik Islam:
1.      Prinsip  Amanat
Prinsip pertama mengandung makna bahwa kekuasaan politik yang dimiliki oleh pemerintah merupakan amanat Allah dan juga amanat rakyat yang telah mengangkatnya melalui bay’at. Sebagai amanat dari Allah, prinsip ini menghendaki agar pemerintah melaksanakan tugas-tugasnya dengan memenuhi hak-hak yang diatur dan dilindungi oleh hokum Allah, termasuk didalamnya amanat yang di bebankan oleh agama dan yang di bebankan oleh individu dan masyarakat sehingga tercapai masyarakat yang sejahtera dan sentosa.

Menurut Al-Maraghi klasifikasi amanat di bagi atas:
a.       Tanggung jawab manusia terhadap Tuhannya
b.      Tanggung jawab manusia terhadap sesamanya
c.       Tanggun jawab manusia terhadap dirinya sendiri.
Menurut Thanthawi Jauhari, amanat adalah segala yang di percayakan orang, berupa perkataan, perbuatan, harta dan pengetahuan, atau segala nikmat yng ada pada manusia yang berguna bagi dirinya dan orang lain.
2.      Prinsip Keadilan
Keadilan juga mengandung arti bahwa pemerintah berkewajiban mengatur masyarakat dengan membuat aturan-aturan hokum yang adil berkenaan dengan masalah-masalah yang tidak tentu secara rinci atau didiamkan oleh hokum Allah. Jadi, penyelenggaraan pemerintahan berjalan di atas hokum dan bukan atas dasar atau kehendak pemerintah atau pejabat. Criteria keadilan dalam pembuatan hokum perundang-undangan menghendaki agar hokum yang di buat itu berorientasi kepada fitrah atau kodrat manusia.

3.      Prinsip Ketaatan
Maknanya dalam prinsip ini adalah wajibnya hokum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an dan sunnah di taati. Hokum perundang-undangan dan kebijakan pemerintah wajib di taati. Hokum perundang-undangan dan kebijakan politik yang diambil oleh pemerintah harus sejalan dan tidak boleh bertentangan dengan hokum agama. Apabila tidak sesuai dengan hokum agama, maka hokum dan kebijakan tersebut dianggap gugur. Ada keharusan yang bersifat timbale balik dalam prinsip ketaatan ini, rakyat wajib menaati pemerintah, pemerintah wajib menaati Allah dan Rasul-Nya, tertera dalam firman Allah Q.S. An-Nissa:59

4.      Prinsip Musyawarah
Hokum perundang-undangan dan kebijakan politik ditetapkan melalui musyawarah diantara mereka yang berhak. Rumusan metode pembinaan hokum perundang-undangan, tata cara atau mekanisme musyawarah yang bersumber dari ajaran-ajaran Al-Qur’an dan sunnah. (Salim, 1994; 306-307). Prinsip musyawarah diperlukan agar para penyelenggara Negara dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan bertukar pikiran dengan siapa saja yang dianggap tepat guna mencapai yag terbaik untuk semua. (Shihab, 1999; 429).

Dari penjelasan tersebut Shihab mneyimpulkan terlihat bahwa Al-Qur’an tidak menjadikan perbedaan agama sebagai alasan untuk tidak menjalin kerjasama apalagi mengambil sikap untuk tidak bersahabat.

Cita-cita politik Islam menurut Al-Qur’an adalah: (1) terwujudnya sebuah system politik (2) berlakunya hokum Islam dalam masyarakat yang mantap (3) terwujudnya ketentraman dalam kehidupan masyarakat. Ini merupakan ideology Islam karena cita-cita ini merupakan nilai-nilai yang diharapkan terwujud, sehingga dengan begitu diperoleh sarana dan wahana untuk aktualisasi kodrat manusia sebagai makhluk ‘abid yang diberikan kedudukan sebagai khalifah dalam membangun kemakmuran di muka bumi, untuk kebahagiaannya dalam kehidupan dunia-akhirat.

Cita-cita tersebut hanya bisa tercapai dengan iman dan amal. Manusia harus mengakui dan mengikuti kebenaran yang dibawa oleh Rasul Allah SAW, serta melaksanakan pembangunan materi-spiritual, memelihara dan mengembangkan ketertiban dan keamanan bersama. Hakikatnya yaitu penerapan hokum-hukum dan ajaran agama yang di wajibkan atas setiap mukmin dan pemerintah sebagai pemegang kekuasaan politik. Dengan demikian kedudukan kekuasaan politik sebagai sarana dan wahana, sedangkan pemerintah merupakan pelaksana bagi tegaknya ajaran agama (Salim, 1994; 298).

C.   PRINSIP-PRINSIP POLITIK LUAR NEGERI DALAM ISLAM
Walaupun berbedaan setiap manusia diharapakan tumbuh rasa persaudaraan dan persamaan, serta sikap hormat-menghormati antar satu orang, golongan atau bangsa seperti firman-Nya dalam Q.S. Al-Hujarat: 13

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami telah menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu dalam pandangan Allah adalah mereka yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mendengar.”

Pengertian ta’aruf menurut konsep Al-Qur’an adalah, (1) memahami dan mengetahui bahasa, kebudayaan, dan adat istiadat suatu bangsa, (2) membina dan menumbuhkan saling pengertian di antara bangsa-bangsa di dunia ini. Al-Qur’an menginginkan agar bangsa-bangsa di dunia saling hormat-menghormati antara satu dengan yang lainnya serta senantiasa membina dan menumbuhkan rasa aman dan damai di antara bangsa-bangsa di dunia ini. (3) Al-Qur’an dengan konsep kenal-mengenal di antara bangsa-bangsa di dunia ini pada hakekatnya menginginkan terwujudnya perdamaian dunia yang nyata dan langgeng.

1.      Etika Bertetangga (jiwa) Dengan Baik
Etika bertetangga dengan baik sangat erat kaitannya dengan iman. Dalam sebuah hadist Nabi Muhammad SAW disebutkan bahwa seorang muslim belum dapat dikatakan beriman apabila ia tidak melaksanakan etika bertetangga dengan baik terhadap para tetangganya. Prinsip bertetangga wajib diterapkan oleh negara dan pemerintahan Islam agar perdamaian dapat dipelihara.
2.                   Hubungan Internasional
Prinsip pokok hubungan internasional menurut doktrin islam:
v Pertama, hubungan internasional dilandasi dengan prinsip untuk memelihara ketertiban dan perdamaian dunia
v Kedua, doktrin Islam memerintahkan kepada pemeluknya agar memenuhi persetujuan-persetujuan dan perjanjian-perjanjian Internasional
v  Ketiga, hubungan Internasional dilaksanakan dengan cara pertukaran duta atau utusan.

D.   DEMOKRASI DALAM ISLAM
1.                   Konsep dan Sejarah Demokrasi dalam Islam
Di dalam Islam masih terjadi polemik antara ada atau tidaknya ajaran demokrasi dalam Al-Qur’an dan hadis. Pertemuan Islam dan demokrasi merupakan pertemuan peradaban, ideologi, dan latar belakang sejarah yang jauh berbeda.

2.                  Segi Positif dan Negatif Demokrasi
·         Sisi Positif dan Negatif Demokrasi
S.N. Dubey (dalam Muslim.or.id.2007) mencatat 8 segi positif demokrasi, yaitu :
1.      Melindungi kebebasan individual
2.      Menjamin persamaan hak
3.      Mendidik rakyat jelata
4.      Mengembangkan karakter rakyat
5.      Memperkembangkan cinta tanah air
6.      Pencegah pergolakan
7.      Menghasilkan kemajuan
8.      Menciptakan ketepatgunaan yang baik
Dalam demokrasi  dikumandangkan semangat Liberte, Egalite, Fraternite, yaitu : kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan yang diharapkan akan tercipta dalam pemerintahan yang demokratis.
·         Segi negatif demokrasi:
1.      Adanya sekelompok orang yang dapat merekayasa masyarakat melalui propaganda
2.      Adanya money politic
3.      Munculnya kekuasaan yang bertumpu pada tirani dan teror
4.      Banyak yang dapat dipengaruhi oleh para demagog dan akhirnya akan merosot jadi kediktatoran
3  Pandangan Islam Tentang Demokrasi:
Pemahaman umat islam terhadap demokrasi mewujudkan pemikiran yang terkadang berseberangan antara satu kelompok dengan yang lain.
Esposito dan Piscatori (dalam Eko Taranggono, 2002), mengidentifikasi adanya tiga varian pemikiran mengenai hubungan islam dan demokrasi, yaitu :
Pertama, Islam menjadi sifat dasar demokrasi, karena konsep syura, ijtihad, dan ijma’ merupakan konsep yang sama dengan demokrasi .
Kedua, Islam tidak berhubungan dengan demokrasi.
Ketiga, Theodemocracy yang diperkenalkan oleh al-Maududi berpandangan bahwa Islam merupakan dasar demokrasi.
Eko Trenggono (2002) mengangkat pendapat Dahl dan Beetham tentang demos dan kratos yang dapat mendekatkan maknanya dengan pemahaman Islam tentang demokrasi:
·         Dahl mengatakan, “ The demos should include all adult subject to the binding collective decision of the association “.  Yang mempunyai maksud bahwa semua individu yang telah dewasa bisa terlibat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut seluruh aspek kehidupan.
·         Menurut Beetham yang disebut pemerintahan demokrasi “ is based on popular control and political equality”  yang memmpunyai maksud bahwa demokrasi itu didasarkan atas kepentingan bersama dan persamaan hak.
Sistem demokrasi dipandang sebagai suatu sistem politik yang lebih dekat dengan Islam dibanding dengan liberalisme atau otokrasi:
·         Demokrasi Islam dianggap sebagai sistem yang mengukuhkan konsep-konsep islami yamg sudah lama berakar yaitu :
1.      musyawarah (syura),
2.      kesepakatan (ijma’), dan
3.      penilaian interpretatif  yang mandiri (ijtihad).
Islam menginginkan demokrasi yang disemangati oleh nilai-nilai syariat, kemanusiaan, dan kemasyarakatan dengan kata lain yang diinginkan dalam islam adalah “demokrasi plus”, yaitu demokrasi yang tetap menjunjung kebenaran agama dan aspirasi rakyat banyak.
  E.    HAK DAN KEWAJIBAN ASASI MANUSIA MENURUT AJARAN ISLAM
1.      Pengertian HAk Asasi Manusia dan Kewajiban Asasi Manusia

Hak asasi manusia adalah hak dasar manusia yang secara kodrati dianugerahkan oleh Allah SWT kepadanya tanpa perbedaan. Dengan ini manusia dapat mengembangkan diri pribadi, peranan, dan sumbangsih bagi kesejahteraan hidup manusia.

Pada piagam Madinah secara lugas menetapkan hak dan kewajiban masyarakat Madinah, baik sebagai individu maupun masyarakat secara adil dan proporsional. Rasul Allah SAW menetapkan bahwa hak yang di peroleh anggota masyarakat seimbnag dengan kewajiban yang ditunaikannya. Kewajibannya yang dilakukan merupakan ibadah yang bukan saja terkait dengan manusia, melainkan juga dengan Allah SWT.

2.      Hak Asasi Manusia Menurut Piagam PBB

Pola pemikiran barat lebih di fokuskan pada hak-hak asasi dari pada kewajiban-kewajibannya. Akibatnya dari pandangan itu manusia lebih banyak menuntut hak-hak dari pada memenuhi kewajiban-kewajibannya. HAM lebih bersifat antroposentris yang melihat kepentingan individu lebih dari segalanya.
Pada Deklarasi universal mempunyai cirri-ciri menonjol:
1.      Agar kita tidak kehilangan gagasan yang sudah tegas, karena hak asasi manusia adalah hak.
2.      Hak-hak ini dianggap bersifat universal, yang dimiliki manusia semata-mata karena ia dalaha manusia.
3.      Hak asasi manusia dianggap ada dengan sendirinya, dan tidak bergantung pada pengakuan dan penerapannya di dalam system adat atau system hokum di Negara-negara tertentu.
4.      Hak asasi manusia di pandang sebagai norma-norma yang penting.
5.      Hak-hak ini mengimplikasikan kewajiban individu maupun pemerintah.

3.      Pandangan Islam tentang Haka Asasi dan Kewajiban Asasi Manusia
Dalam konsep Islam, manusia dan jin diciptakan untuk mengemban kewajiban-kewajibannya. Kewajiban yang utama adalah menyembah Allah SWT. Pada hakikatnya, hak-hak manusia merupakan suatu imbalan yang harus di terima setelah menunaikan kewajiban-kewajibannya.

      Salah satu hokum Islam adalah hak itu baru timbul setelah kewajiban dilaksanakan dan di tunaikan. Dalam hokum Islam terdapat fardhu kifayah dan fardhu ‘ain. Fardhu kifayah adalah suati kewajiban kolektif yang apabial di laksanakan oleh sebagian atau sejulah anggota masyarakat, maka anggota masyarakat yang lainnya yang tidak melaksanakan kewajiban itu dianggap telah menunaikan kewajiban tersebut sehingga mereka bebas dari tuntutan pertanggung jawaban.
Kewajiban manusia:
1.      Kewajiban terhadap Allah.
2.      Kewajiban terhadap diri sendiri.
3.      Kewajiban terhadap keluarga.
4.      Kewajiban terhadap tetanga.
5.      Kewajiban terhadap buruh.
6.      Kewajiban terhadap harta.
7.      Kewajiban terhadap Negara
8.      Kewajiban terhadap lingkungan hidup.
Di dalam al-Qur’an, prinsip-prinsip hak manusia, sebagaimana terdapat pada UDHR dilukisakan dalam berbagai ayat Al-Qur’an, yaitu:
1.      Martabat manusia
2.      Prinsip persamaan
3.      Prinsip kebebsan menyatakan pendapat
4.      Prinsip kebesan beragama
5.      Hak jaminan social 
6.   Hak atas harta benda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar